MengenalBiografi dan sejarah Sunan Kalijaga di pulau Jawa Karya tulis ini diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa indonesia tahun pelajaran 2018/2019 Disusun Oleh: Nama : Elhana Zuqriya NIS :14310 Kelas : IX-A/ 06 Kementrian Agama Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Kudus Prambatan Kidul Kaliwungu Kudus Telepon (0291) 431777 Mengenal Biografi dan sejarah Sunan Kalijaga di pulau Jawa
Sunan Kalijaga mempunyai nama panggilan pendek, yaitu Sunan Kali. Nama kecilnya yaitu, Raden Syahid. Beliau adalah putra seorang adipati Tuban Tumenggung Wilatikta. Beliau juga termasuk anggota wali sanga yang sangat populer di Tanah Jawa. Namun jarang orang yang mengetahui akan ajarannya. Umumnya orang mengenal ajarannya dari kidung atau tembang. Diantaranya yaitu, tembang “Ilir-ilir”. Sunan Kalijaga menyusun berbagai doa dalam bahasa Jawa. Doa-doa yang disusun beliau itu namanya kidung. Di antara doa-doa beliau yang sangat populer yaitu kidung “Rumekso Ing Wengi” yang artinya perlindungan pada malam hari. Kidung ini dikenal sebagai “Mantra Wedha” Doa penyembuhan, karena jika kidung ini diucapkan dengan keyakinan yang tinggi maka akan menghasilkan kekuatan gaib, yang berguna untuk perlindungan dan penyembuhan. Ada dua hal yang perlu diketahui dalam doa, yaitu keyakinan dan bahasa doa itu sendiri. Yang disertai dengan keyakinan yang tinggi dalam berdoa dan mengerti makna doa yang diucapkan. Seperti, bahasa Sunan Kalijaga itu Jawa maka beliau menyusun lah doa-doa yang berbahasa Jawa, agar dapat dipahami oleh orang Jawa. Pada saat itu Sunan Kalijaga sudah memeluk agama Islam. Kemudian sunan Kalijaga mentransformasikan agama Islam oleh kepada Orang-orang Jawa. Yang menurut orang Jawa bahwa Agama Islam itu terasa asing bagi mereka. Sunan Kalijaga memiliki doa utama ketika malam hari yaitu doa untuk keselamatan pada malam hari. Keselamatan yang nyata, Keselamatan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya bagi orang-orang yang memeluk agama yang dibawa Sunan Kalijaga. Kita tahu bahwa pada malam hari waktunya semua orang istirahat, dan pada waktu itu suasana malam hari sangat menyeramkan tanpa ada lampu listrik. Maka dari itu, Sunan Kalijaga menyusun doa-doa agar semua orang pada saat itu tetap dalam keselamatan. Dalam Al-Qur’an juga ada surat yang dibaca untuk keselamatan atau perlindungan, yaitu Surah Al-Baqarah ayat 255, yang sering disebut dengan ayat kursi’. Tetapi Sunan Kalijaga tidak mengajarkan ayat itu untuk perlindungan diri. Akan tetapi dengan doa yang disusun Sunan Kalijaga sendiri digalinya dan dipadukan dengan ajaran Islam. Kemudian lahirlah Tembang Rumekso Ing Wengi sebanyak 5 bait, yang berbunyi sebagai berikut Ana kidung rumeksa ing wengi Teguh hayu luputa ing lara Luputa bilahi kabeh Jin setan datan purun Peneluhan tan ana wani Miwah panggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta Maling adoh tan ana ngarah ing mami Guna duduk pan sirna Jika dilihat dengan teliti, pada bait pertama mengandung ajaran tentang perlindungan dari berbagai macam kejahatan yang biasa terjadi pada malam hari tiba dan tidak jauh berbeda dengan surat An-Nas dan Al-Falaq. Tidak hanya kejahatan dari perbuatan orang-orang jahat seperti pencuri, akan tetapi kejahatan gaib seperti sihir, teluh, tuju, santet, dan yang lainnya. Jika melantunkan kidung tersebut kejahatan yang hendak menyerang kita akan pergi sendiri tanpa berperang. Susunan kata yang tertata rapi dalam doa, sebenarnya menjadi titik perhatian dan tujuan bagi orang yang membacanya. Titik perhatiannya yaitu untuk menghidupkan konsentrasi yang kuat. Kemudian kekuatan itu ditujukan dengan kalimat yang ada pada doa tersebut. Maka dari itu jangan gumunan, karena dalam Hadits disebutkan bahwa, “Al-du’au mukhkhu al-ibadah.” Doa itu inti ibadah, Hadits ini diriwayatkan oleh A-Tirmidzi. Ada juga Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, yang disebutkan bahwa doa itu harus disertai dengan keyakinan biar terkabul. Sakehing lara pan samya bali Sakeh ngama pan sami miruda Welas asih pandulune Sakehing braja luput Kado kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak tutut Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwaning wong lemah miring Myang pakponing merak Dalam bait ke dua dinyatakan bahwa khasiat setelah membaca doa ini ialah untuk menolak serangan hama di sawah dan ladang, kemudian juga untuk menolak serangan senjata. Makna dalam bait tersebut ialah, bahwa semua penyakit itu akan pulang ke tempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan sendirinya, semua senjata tidak mengenainya, binatang buas menjadi jinak. Pagupakaning warak sakalir Nadyan arca myang segara asat Temahan rahayu kabeh Apan sarira ayu Ingideran kang widadari Rineksa malaekat Lan sagung pra rasul Pinayuning ing Hyang Suksma Ati Adam utekku bagindan Esis Pangucapku ya Musa Napasku nabi ngisa linuwih Nabi yakup pamiyarsaningwang Dawud suwaraku mangke Nabi Ibrahim nyawaku Nabi Sleman kasekten mami Nabi Yusup rupeng wang Edris ing rambutku Bagindha Ngali kuliting wang Abu Bakar getih daging Ngumar singgih Balung bagindha Ngusman. Sungsumingsun Patimah linuwih Siti Aminah bayuning angga Ayup ing ususku mangke Nabi Nuh ing jejantung Nabi Yunus ing otot mami Netraku ya Muhammad Pemeluku Rasul Pinayungan Adam Kawa Sampun pepak sakathahe para nabi Dadya sarira tunggal Dalam bait ke tiga bahwa kidung Rumekso Ing Wengi itu juga untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dalam hidup ini. Termasuk untuk mendapatkan keturunan yang sentosa hidupnya, serta luhur budi pekertinya. Kandungan dalam ke tiga bait tersebut yaitu, bahwa kayu ajaib, tanah angker, liang landak, gua orang, tanah miring sarang merak, dan kandang semua badak, batu dan laut menjadi kering, semua itu akan menemukan keselamatan. Badan menjadi selamat karena dikelilingi oleh para malaikat dan dilindungi oleh Allah SWT. Kemudian pada akhir bait kedua dan awal bait ketiga merupakan simbol untuk kehidupan. Kalimat Hayyu jika dibaca oleh orang Jawa maka menjadi kayu, yang artinya hidup. Benih hidup disebut sebagai pohon ajaib, sedangkan tanah sebagai tempat tumbuhnya benih yang dinamakan tanah angker atau tanah keramat. Karena tanah keramat hanya bisa ditanami bila dalam keadaan suci dan halal. Liang landak, gua orang, tanah miring, sarang merak, dan kandang semua badak, merupakan simbol organ perempuan bagi tempat berseminya janin. Itu semua merupakan lambang bagi tempat pertumbuhan janin, baik perempuan maupun laki-laki. Keringnya batu dan lautan merupakan wujud dari sperma dan sel telur. Semuanya selamat, karena adanya daya dari para malaikat dan ada dalam lindungan Allah SWT. Keselamatan terwujud bukan hanya sekedar bebas dari gangguan, melainkan juga menjadi wujud manunggalnya daya para nabi dan sahabat dalam badan manusia yang menghadirkan kidung tersebut. Karena hati merupakan tempatnya rasa. Dan letak hidup ada dalam rasa. Letak ingsun ada dalam rasa. Bahwa ada salah satu Hadits qudsi yang berbunyi seperti ini “Manusia itu rasaku, sedangkan aku adalah rasanya.” Nabi Adam adalah nabi pertama, sumber budi dan hati bagi manusia, oleh karena itu hati manusia juga merupakan kebesaran dari Allah SWT. Referensi Badlowi Syamsuri. 1995. Kisah Wali songo. Surabaya Apollo Achmad Chodim. 2018. Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat. Jombang; PT. Bentara Aksara Cahaya Agus Sunyoto. 2012. Atlas Walisongo. Depok Pustaka IIMaN Karsono H. Saputra. 2001. Sekar Macapat. Jakarta Wedatama Widya Sastra Otto Sukatno. 2001. Paramayoga Ranggawarsita mitos asal-usul manusia Jawa. Yogyakarta Yayasan Bentang Budaya Kontributor Nabila Quthrotunnada, Semester V Post Views 2,419
Hariini, rasanya sangat cocok kita kembali membaca, merenungi dan meresapi filosofi kehidupan wejangan Sunan Kalijaga. 1. Urip iku urup Hidup itu Nyala! Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang bisa kita berikan, tentu akan lebih baik. 2. Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara
loading...Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga memiliki nama asli Joko Said, yang diperkirakan lahir pada Tahun 1450 M. Foto/dok ruangteori Sunan Kalijaga merupakan salah satu tokoh Wali Songo yang berasal dari Tuban dan menyebarkan agama Islam di wilayah pulau Jawa. Sosok Sunan Kalijaga hingga saat ini masih dihormati umat Islam di Tanah Air. Makamnya yang berada di Kelurahan Kadilangu, Demak tidak pernah sepi dari kunjungan para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Cara dakwah yang merakyat dengan menggunakan kesenian daerah membuatnya terkenal dan mudah diterima oleh masyarakat di Pula Jawa. Inilah yang membuat Sunan Kalijaga berbeda dengan tokoh Wali Songo lainnya karena beliau sangat paham betul tentang pergerakan, permasalahan hingga aliran yang sedang berkembang dalam masyarakat. Masa Muda Sunan KalijagaSunan Kalijaga memiliki nama asli Joko Said, yang diperkirakan lahir pada Tahun 1450 M. Ia merupakan putra dari adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ayahnya merupakan keturunan dari pemberontak legendaris Majapahit, Arya Wilatikta adalah sosok pemimpin yang terkenal kejam dan sangat taklid terhadap pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu meskipun dirinya seorang muslim. Ia tak segan untuk meminta pajak yang tinggi tanpa memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Atas dasar itulah Joko Said mulai memberanikan diri untuk membangkan dan tidak setuju terhadap segala keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan ayahnya. Hingga puncaknya, Joko Said membongkar lumbung kadipaten dan membagikan seluruh padi dan beras yang ada didalamnya kepada rakyat miskin yang berada dibawah kekuasaan ayahnya. Tidak berlangsung lama Adipati Arya Wilatikta mengadakan sidang dan mengadili Joko Said karena terbukti merusak lumbung padi ayahnya. Joko Said memberikan alasan bahwa yang dilakukannya berlandaskan Islam. Ayahnya terlalu menumpuk harta untuk dirinya sedangkan rakyatnya kelaparan dan menderita. Dengan alasan tersebut Joko Said diusir dari Kadipaten dan tidak boleh kembali pulang sebelum menggetarkan Tuban dengan bacaan ayat suci Al-Qur'an. Setelah diusir dari Istana ia tetap melanjutkan misinya untuk mensejahterakan rakyat miskin dengan cara merampok. Namun dalam merampok Joko Said hanya merampok rumah orang yang terkenal kaya dan membagikan hasil curiannya secara adil kepada rakyat yang kurang mampu. Maka dari itu ia dijuluki sebagai "Brandal Lokajaya" atau perampok yang budiman. Akan tetapi setelah bertemu dengan Sunan Bonang semua perilaku dari Joko Said pun berubah. Hal ini bisa terjadi lantaran ia telah dinasehati bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk dari hambanya. Kemudian Joko Said menjadi murid Sunan Bonang dan mendalami Ilmu agama Islam. Setelah menimba ilmu agama yang cukup lama dan dinilai cukup mumpuni menurut Sunan Bonang. Joko Said kemudian dilepas untuk berdakwah dan mengamalkan ilmu agama Nama KalijagaMengutip infobiografi, nama Kalijaga berasal dari bahasa Arab "Qadi" dan namanya sendiri "Joko Said". Frase ini asalnya dari Qadhi Joko Said yang artinya "Hakim Joko Said". Karena menurut sejarah mencatat bahwa saat Wilayah Demak didirikan pada Tahun 1478, Sunan Kalijaga diserahi tugas sebagai Qadhi hakim di Demak oleh Wali Demak saat itu, yaitu Sunan sejarahnya, masyarakat Jawa dikenal kuat dalam hal penyimpangan pelafalan kata-kata dari bahasa Arab, seperti istilah Sekaten dari Syahadatain, Kalimosodo dari Kalimah Syahadah, Mulud dari Maulid. Maka tak aneh bila frase "Qadhi Joko" kemudian tersimpangkan menjadi "Kalijogo" atau Dakwah Sunan Kalijaga Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Kalijaga telah membawa paham keagamaan yaitu salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang bermotto 'Manunggaling Kawula Gusti'. Hal ini dibuktikan dengan ketegasan beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah 'kekafiran' Syaikh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang berdakwah Sunan Kalijaga sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia memiliki pendapat sendiri bahwa masyarakat akan menjauh jika diusik pendiriannya. Maka dari itu mereka harus didekati secara bertahap, dengan mengikuti sambil mempengaruhi dengan ajaran Islam. Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan serta seni suara sebagai sarana dakwah. Selain itu beliau juga memiliki lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul itu beliaulah yang menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu Petruk Jadi Raja.Dengan cara tersebut membuktikan bahwa dakwahnya sangat efektif. Sehingga banyak adipati di pulau jawa memeluk agama Islam melalui Sunan Kalijaga. Itulah sekilas biografi dan perjalanan dakwah Sunan Kalijaga. Semoga bermanfaat. Baca Juga rhs Doayang diajarkan Sunan Kalijaga itu berbahasa Jawa. Doa yang disampaikan dengan bahasa Jawa, akan lebih meresap ke dalam hati sanubari masyarakat sehingga diharapkan sang pendoanya memahami makna dan tujuan doa tersebut. Sebelum doa disampaikan, maka didahului oleh amalan PUASA MUTIH selama tiga atau tujuh hari.
Jakarta - Sunan Kalijaga adalah tokoh penyebar agama Islam yang populer di Tanah Jawa khususnya Jawa Tengah. Ia berdakwah menggunakan metode yang sangat lekat dengan budaya masyarakat Jawa pada saat Songo memiliki peran besar dalam sejarah masuknya agama Islam di Tanah Jawa. Sebagai pelopor Islam, kisah Wali Songo saat menyebarkan ajarannya patut menjadi suri tauladan bagi dalam Jurnal Wali Songo, wali merupakan sosok yang memiliki kelebihan atas kedekatannya dengan Allah SWT. Wali menjadi wasilah atau perantara antara manusia dengan Allah berasal dari bahasa Arab dari kata Waliyullah yang berarti orang yang dicintai dan mencintai Allah SWT. Sementara itu, Songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti kata Wali Songo diartikan sebagai sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah SWT. Mereka mengemban tugas suci untuk mengajarkan agama satu Wali Songo yang menyebarkan siar Islam di Jawa Tengah adalah Sunan dari buku Sunan Kalijaga Raden Said karangan Yoyok Rahayu Basuki, Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450 Masehi. Nama aslinya Raden Said. Ayahnya seorang adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta atau Raden Kalijaga juga dikenal dengan Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden pada masa remaja Sunan Kalijaga suka merampok. Menurut berbagai sumber, tindakannya dilatarbelakangi oleh ketidakadilan yang dirasakan rakyat kecil karena mereka harus membayar pajak atau ia membongkar gudang makanan lalu mencuri dan membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Namun, tindakan yang dilakukannya justru membuat ayahnya merasa malu. Sehingga ia pada suatu ketika, Sunan Kalijaga hendak merampok tanpa diketahui ternyata orang yang menjadi sasarannya adalah Sunan Bonang. Akhirnya Sunan Kalijaga dibimbing oleh Sunan Bonang untuk menjadi yang menjadi cikal bakal perubahan nama Raden Said menjadi Sunan Kalijaga hingga menjadi penerus halaman berikutnya
8Sunan Kalijaga meyusun beberapa doa dalam bahasa Jawa begitu pula dahulu Nabi from SOC 101 at Far Eastern University
Wabah yang melanda Indonesia hari ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Pembaca tentu juga sudah banyak memperoleh literatur bacaan bahwa sejak masa Rasulullah saw pun wabah sudah pernah menyerang suatu negeri. Sebelum Indonesia merdeka, di mana negeri kita masih terdiri dari kerajaan-kerajaan, wabah penyakit juga pernah menyerang suatu wilayah kerajaan, misalnya kerajaan di pulau Jawa. Pada suatu masa di tahun 1409 ketika Raden Patah berkuasa dan memimpin kerajaan Demak muncul wabah penyakit yang oleh masyarakat saat itu disebut sebagai Lelepah. Akibat wabah Lelepah, banyak masayarakat Demak meninggal secara mendadak hanya dalam hitungan jam. Wabah Lelepah membuat masyarakat dan penguasa Demak saat itu panik dan takut. Melihat kepanikan dan ketakutan rakyatnya yang semakin hari semakin tidak terkendali, Raden Patah pun mendatangi Dewan Wali yang beranggotakan Sembilan Ulama agar memberikan solusi atas kondisi pandemi tersebut. Dari semua anggota Dewan Wali adalah Sunan Kalijaga yang saat itu hadir dengan syair-syair yang memuat do’a-do’a di dalamnya. Do’a-do’a dalam syair itu berbahasa jawa yang kemudian dikenal dengan mantra atau kidung Rumeksa Ing Wengi Perlindungan pada malam hari. Nyanyian atau syair yang mengandung nilai-nilai do’a atau mantra dapat disebut sebagai kidung. Sedangkan Kidung Rumekso Ing Wengi sendiri diyakini memiliki kekuatan do’a untuk menyembuhkan dari segala macam penyakit dan memiliki kekuatan untuk melindungi diri. “Ana kidung rumeksa ing wengi/ teguh ayu luputa ing lelara/ luputa bilahi kabeh/ jin setan datan purun/ peneluh tan ana wani/ miwah panggawe ala/ gunaning wong luput/ geni atemahan tirta/ maling adoh tan ana ngarah mring mami/ guna duduk pan sirna..” “Ini doa penjaga malam/ semoga semua aman/ terhindar dari penyakit/ dan terhindar dari petaka/ jin dan setan tidak akan berani mengganggu/ santet tidak akan bereaksi/ sekalipun niat jahat/ tipu daya pun luput/ api akan tertangkis air/ maling menjauh dan tidak berani mendekatiku/ segala macam sihir sirna..” Sepanjang sejarah kewalian, Sunan Kalijaga sangat terkenal dengan cara dakwahnya yang mengakulturasikan ajaran Islam dengan budaya lokal setempat. Sunan Kalijaga terkenal dengan keahliannya menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang hidup di masyarakat Jawa menjadi tradisi-tradisi dalam Islam seperti Grebeg Maulud dan Sekaten untuk memperingati Maulud Nabi. Selain itu, untuk mengajak masyarakat Jawa masuk Islam, Sunan Kalijaga juga menyusun rangkaian do’a-do’a dalam bahasa Jawa berupa mantra atau kidung nyanyian/lagu. Rangkaian do’a-do’a itu terkumpul dalam sebuah serat yang dinamai dengan Serat Kidungan. Serat Kidungan berisi beberapa kidung seperti, Kidung Sarira Ayu atau Kidung Rumekso Ing Wengi, Kidung Artati, Kidung Jati Mulya, dan Kidung Mar Marti. Mantra dalam Pandangan Islam Kidung atau mantra dalam prespektif living Qur’an dapat dikategorikan ke dalam tradisi tulis. Sebab, baik kidung maupun mantra merupakan implementasi dari sebuah pemahaman yang substantive dan memiliki korelasi dengan surat Mu’awwidhatain yang termanifestasi ke dalam bentuk kidung atau mantra. Surat Mu’awwidhatain adalah kumpulan dari tiga surat yakni surat al-Falaq, Al-Nas, dan Al-Ikhlas yang mengandung nilai-nilai ke-tauhid-an, keselamatan dan perlindungan. Melalui hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dikatakan bahwa suatu ketika Rasulullah saw me-ruqyah dirinya sendiri dengan surat Mu’awwidhatain. Hingga kemudian dalam sejarah perjalanan umat muslim yang lebih dari seribu tahun, surat Mu’awwidhatain dipercaya sebagai wirid dan jampi-jampi. Begitu juga dalam tradisi masyarakat Jawa, surat Mu’awwidhatain sering dirapalkan dalam berbagai kesempatan dan kegiatan seperti halnya tahlil, selamatan, yasinan, dan lain sebagainya. Begitu juga dalam menilai penggunaan mantra, Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis yang diriwaytakan oleh Muslim; Dari Auf bin Malik Al Asyja’I RA, dia berkata, “Pada masa jahiliah kami sering mengguakan mantera. Lalu kepada Rasulullah saw kami tanyakan hal itu kepadanya, “Ya Rasulullah, bagaimana menurut engkau tentang mantera?” Beliau berkata, “Selama tidak mengandung syirik, penggunaan mantra tidak menjadi persoalan.” Semangat Mu’awwidhatain dalam Mantra Kandungan nilai-nilai dalam Kidung Rumekso Ing Wengi selaras dengan kandungan dalam surat Mu’awwidhatain. Pertama, Kidung Rumekso Ing Wengi mengajarkan kepada masyarakat agar memohon perlindungan dari bahaya kepada Hyang Widhi atau Hyang Maha Suci Allah; Tuhan Yang Satu yang selaras dalam kandungan surat Mu’awwidhatain yang memberikan perlindungan dari semua kejahatan secara umum al-Falaq 2 dan kejahatan secara khusus seperti; kejahatan malam al-Falaq 3, kejahatan manusia al-Falaq 4-5, serta kejahatan jin dan setan al-Nas 4-5. Kidung Rumekso Ing Wengi juga memiliki nilai-nilai ke-tauhid-an sebagaimana dalam surat Mu’awwidhatain yang terkandung dalam surat al-Ikhlas. Surat al-Iklhas adalah surat yang menjadi munasabah dari surat Mu’awwidhatain yang hanya memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Esa. Ke-tauhid-an itu terekam dalam bait-bait Kidung Rumekso Ing Wengi yang menyandarkan segala urusan kepada Hyang Widhi atau Hyang Maha Suci seperti dalam bait ke-7 dan ke-10. Bait ke-7 “Lamun rasa tulus nandur pari/ puwasaa sawengi sadina/ iserana galengane/ wacanen kidung iku/ data nana ama kang prapti/ lamun sira aperang/ wateken ing sekul/ antuka tigang pukulan/ kang amangan rineksa dening Hyang Widdhi/ rahayu ing payudan” Bait ke-10 “Sing sapa reeke angsa nglakoni/ amutiha lawan anawaa/ patang puluh dina bae/ lan tangi wektu subuh/ miwah sabar syukuran ati/ insya Allah tinekan/ sakarsanireku/ tumrah sanak-rakyatira/ saking sawabing ilmu pangiket mami/ duk aning Kalijaga” Para leluhur bangsa kita sebenarnya telah meninggalkan warisan yang amat berharga dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Seperti upaya pencegahan dan ikhtiar menjaga diri dari serangan virus corona yang mewabah di negeri hari ini. Selain ikhtiar dengan pola hidup sehat, kita juga dianjurkan memohon perlindungan kepada Tuhan, Allah Yang Esa. Bahkan, di masyarakat lokal seperti Jawa, para leluhur dan ulama pun meninggalkan warisan yang sesuai dengan budaya, kebiasaan, dan pemahaman mereka tanpa terlepas dari nilai-nilai Islam.

Studentat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Gabung untuk terhubung UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Laporkan profil ini Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Bahasa Indonesia; Italiano (Bahasa Italia) 日本語 (Bahasa Jepang)

Selain tembang Ilir-ilir, salah satu karya Kanjeng Sunan Kalijaga yang terkenal adalah kidung Rumeksa ing Wengi. Kidung itu berisi tentang permohonan kepada Tuhan agar diselamatkan dari segala macam marabahaya dan wabah penyakit yang berpotensi mengancam nyawa.“Sunan Kalijaga menyusun beberapa doa dalam bahasa Jawa. Doa-doa yang disusunnya itu berupa kidung atau mantra. Di antara doa-doa dari Sunan, yang amat terkenal adalah kidung Rumeksa ing Wengi [perlindungan pada malam hari],” jelas Achmad Chodjim dalam bukunya yang berjudul Sunan Kalijaga Mistik dan masa lalu, dalam kondisi pageblug atau merebaknya wabah penyakit seperti kasus Covid-19 sekarang ini, kidung Rumeksa ing Wengi sering kali dilantunkan masyarakat pada sore atau malam hari, khususnya saat ingin melaksanakan salat melantunkannya, biasanya orang Jawa juga mengiringnya dengan harapan baik agar terhindar dari segala macam bahaya yang tampak oleh mata maupun yang tidak.“Kidung ini juga dimaksudkan untuk membebaskan diri dari serangan berbagai penyakit. Baik yang bersifat fisik maupun kejiwaan. Karena itu, di dalam baitnya dinyatakan dengan tegas bahwa kidung ini menyelamatkan diri dari penyakit, semua petaka, jin dan setan, dan perbuatan orang yang salah,” tulis doa yang dipercaya berkhasiat mengobati, kidung itu juga dikenal dengan sebutan Mantra Wedha atau doa penyembuhan. Masyarakat Jawa percaya jika kidung tersebut dibaca dengan penuh keyakinan, akan ampuh menangkal segala macam bala dan melafalkannya pun tidak sembarangan. Bukan hanya sekedar membaca bait per bait dengan irama yang datar-datar saja. Namun, harus dilafalkan dengan penuh penghayatan dengan irama macapat khas masyarakat yang sangat kental dengan tradisi olah rasa, orang Jawa meyakini jika dibaca dengan penghayatan yang tinggi, kidung ini akan memunculkan energi positif yang berguna bagi perlindungan diri orang yang melafalkannya.“Mantra atau doa hanyalah sarana. Kekuatan kidung, bukan lahir dari olah pikir. Daya dan kekuatan kidung berasal dari olah rasa. Di dalam olah rasa itulah, bagi orang yang membacanya dengan keyakinan, rasanya akan tersambung dengan Allah,” terang Chodjim yang juga menulis buku Syekh Siti Orang Jawa Menghindari PerselisihanDalam salah satu baitnya, berbunyi, “sakehing lara pan samya bali. Sakeh ngama pan sami miruda welas asih pandulune.” Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi semua penyakit pulang ke tempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan sini memperlihatkan, bahwa orang Jawa memang cenderung memilih menghindari perselisihan. Kalimat “semua hama menyingkir dengan pandangan kasih”, menurut Chodjim, merupakan simbol dari karakter orang Jawa yang selalu ingin hidup dengan penuh welas selalu ingin hidup harmonis antara sesama manusia dan alam sekitarnya. Bahkan terhadap hal-hal yang bisa merugikannya sekalipun, orang Jawa seringkali tetap ingin bersikap welas asih dan tidak mau berselisih. Tetap ingin hidup harmonis dan itu juga tergambar dalam makna dari kidung Rumeksa ing Wengi karya Sunan Kalijaga. Menurut Chodjim, kidung ini juga tidak memiliki tujuan untuk melawan bala atau menghancurkan penyakit yang berpotensi membahayakan nyawa. Namun, lebih bertujuan untuk menjadi sarana memohon perlindungan kepada Tuhan. Supaya segala hal yang merugikan itu, menyingkir dengan sendirinya tanpa perlu dilawan atau Belakang TerciptanyaKondisi pageblug atau merebaknya wabah penyakit seperti pandemi Covid-19 seperti sekarang ini sudah pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1409, ketika Kerajaan Demak berkuasa dan dipimpin oleh Raden itu muncul wabah penyakit yang oleh masyarakat disebut Lelepah. Karena wabah itu, banyak orang yang meninggal secara mendadak. Dikutip dari 6/4/2020, “banyak orang meninggal dengan cepat hitungan jam saja.”Lelepah sungguh membuat panik masyarakat dan penguasa waktu itu. Raden Patah yang berkuasa waktu itu, memutuskan untuk meminta pertimbangan Wali Sanga-dewan wali yang beranggotakan sembilan ulama penyebar agama Islam-untuk menyelesaikan masalah seluruh anggota dewan Wali Sanga yang hadir saat itu, Kanjeng Sunan Kalijaga membuat syair atau rangkaian doa-doa dalam bahasa Jawa berupa kidung atau mantra. Mantra itu kemudian dikenal dengan nama kidung Rumeksa Ing salah satu anggota WaliSanga yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa, Sosok Sunan Kalijaga memang dikenal memiliki pandangan yang lebih pragmatis dibanding anggota Wali Sanga lainnya. Pragmatis dalam arti memilih suatu cara yang mudah dipahami dan dimanfaatkan biasa menyebarkan pahamnya melalui cara-cara yang halus, seperti menggunakan akulturasi budaya. Kidung Rumeksa ing Wengi juga merupakan salah satu caranya untuk mendekati masyarakat yang saat itu sangat menggemari ngidung atau ngidung maupun nembang, keduanya merupakan klangenan masyarakat Jawa dalam merefleksikan hidupnya. Kerap kali, kebiasaaan itu diiringi dengan kegemaran mendengarkan lantunan gamelan Jawa, yang biasa disebut Sunan Kalijaga kegemaran masyarakat itu diakulturasi dengan bebagai hal yang bernilai islami. Seperti kidung Rumeksa ing Wengi ini, bila ditilik lebih jauh makna dalam bait-baitnya. Sebenarnya mengandung doa-doa yang sangat dekat dengan ajaran karena pada waktu itu masyarakat di Jawa lebih terbuka terhadap hal-hal yang berasal dari budayanya sendiri, Sunan Kalijaga berinisitaif mengubah doa-doa itu, ke dalam bahasa yang dipahami Dr. Purwadi Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara Lokantara, kidung Jawa menggambarkan kesadaran batin masyarakat Jawa atas segala sesuatu pasti diciptakan secara seimbang oleh Tuhan Yang Maha Esa.“Filsafat Cina mengenal ajaran Yin Yang. Pujangga Jawa menyebut gambuhin jagat gumelar dan jagat gumulung. Ekuilibrium antara makrokosmos dan mikrokosmos,” tutur Purwadi, dikutip dari zaman modern ini, mungkin tidak banyak orang yang mengenal kidung Rumeksa Ing Wengi karya Sunan Klijaga. Kendati demikian, warisan intelektual Kanjeng Sunan Kalijaga ini patut dilestarikan sebagai simbol kearifan lokal. Selain itu, juga bisa menjadi sarana untuk memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan penyakit seperti pandemi Covid-19 sekarang Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat Achmad Chodjim Atlas Wali Songo Agus Sunyoto berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Jenengasline Sunan kalijogo yoiku Raden Sahid. Putra Adipati Tuban sing jenenge Temenggung Wilatikta. Raden Sahid kalebu keturunane Ronggolawe sing agamane Hindu, uga kanthi asma Raden Sahur. Nalika Raden Sahid cilik, Raden Sahid wis di kenalake karo agama Islam karo guru kadipaten Tuban.

Download Free DOCDownload Free PDFCerita Sunan Kali Jaga dalam bahasa JawaCerita Sunan Kali Jaga dalam bahasa JawaCerita Sunan Kali Jaga dalam bahasa JawaCerita Sunan Kali Jaga dalam bahasa JawaMuhammad Husein T

X4yF.
  • g9kmqj76jx.pages.dev/453
  • g9kmqj76jx.pages.dev/364
  • g9kmqj76jx.pages.dev/319
  • g9kmqj76jx.pages.dev/30
  • g9kmqj76jx.pages.dev/482
  • g9kmqj76jx.pages.dev/399
  • g9kmqj76jx.pages.dev/281
  • g9kmqj76jx.pages.dev/157
  • doa sunan kalijaga bahasa jawa